Antara Efisiensi dan Kemewahan Kepemimpinan

Penulis: Muhammad Ihsan (Ketua Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif HMI Cabang Makassar)

Makassar, riuhmedia.com – Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir gencar mengkampanyekan efisiensi anggaran dan penghematan belanja negara. Berbagai kebijakan telah diambil, mulai dari pengetatan belanja pegawai, pemangkasan anggaran perjalanan dinas, hingga penundaan proyek-proyek yang dianggap tidak prioritas.
Namun, ironi muncul di saat yang sama, Kementerian Dalam Negeri justru mengeluarkan kebijakan untuk pelaksanaan “Orientasi Kepemimpinan Kepala Daerah Tahun 2025 sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 200.5/628/SJ yang berlangsung dalam format glamping (glamorous camping) di lokasi eksklusif.

Keputusan ini menjadi paradoks yang mencolok. Di satu sisi, rakyat diminta untuk memahami keterbatasan fiskal negara, tetapi di sisi lain, pemerintah tetap mengalokasikan anggaran untuk kegiatan seremonial dan elitis yang minim urgensi, serta memiliki implikasi finansial besar.

Fenomena ini semakin diperburuk dengan adanya program Retret Kepala Daerah di Glamping Borobudur Internasional Golf, yang justru menegaskan adanya jurang antara elite dan realitas masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan.

Retorika Efisiensi yang Gagal dalam Implementasi
Sejak 2023, pemerintah telah berulang kali menyampaikan perlunya efisiensi anggaran. Namun, kebijakan seperti orientasi kepemimpinan di glamping dan retret kepala daerah memperlihatkan inkonsistensi dalam penerapan prinsip efisiensi.
Jika orientasi kepemimpinan memang bertujuan untuk membangun kapasitas kepala daerah, mengapa harus dilakukan di tempat eksklusif dengan fasilitas premium? Bukankah lebih logis jika kegiatan ini dilakukan dengan metode lebih hemat, seperti blended learning atau lokakarya berbasis daerah masing-masing?

Pemerintah menggaungkan efisiensi fiskal sebagai strategi utama dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, orientasi kepemimpinan dengan skema tatap muka di lokasi premium justru mengundang pertanyaan mengenai komitmen efisiensi tersebut.

Pemerintah kerap menyerukan penghematan anggaran dengan berbagai kebijakan, mulai dari pengurangan subsidi energi hingga pemotongan anggaran untuk program sosial. Namun, ketika menyangkut kepentingan elite, kebijakan efisiensi ini seakan kehilangan relevansinya.

Penyelenggaraan orientasi kepemimpinan di Glamping Borobudur Internasional Golf dengan biaya miliaran rupiah menunjukkan bahwa efisiensi hanyalah wacana yang fleksibel bisa ditegakkan bagi rakyat, tetapi bisa dinegosiasikan bagi penguasa. Dalam bukunya “The Price of Inequality”, Stiglitz menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi sering kali diperburuk oleh kebijakan publik yang menguntungkan elite dengan dalih peningkatan kapasitas dan efektivitas pemerintahan. Namun, pertanyaannya, apakah kepemimpinan yang efektif harus selalu ditempa di tempat-tempat eksklusif?

Prinsip alokasi sumber daya yang optimal menekankan bahwa kebijakan anggaran harus diarahkan pada hasil maksimal dengan biaya minimal. Jika program ini mengharuskan pembiayaan tinggi tanpa jaminan dampak signifikan terhadap tata kelola daerah, maka ia berpotensi menjadi beban fiskal.

Skema Pembiayaan, dengan biaya Rp.2.750.000 per peserta per hari selama delapan hari, total anggaran yang dikeluarkan menjadi signifikan, belum termasuk biaya perjalanan, perlengkapan, dan konsumsi yang dibebankan kepada APBD. Hal ini mencerminkan ironi dalam narasi efisiensi anggaran yang disampaikan pemerintah.

Beban APBD dan Ketidakadilan Fiskal
Dalam surat edaran yang dikeluarkan, kegiatan ini menggunakan mekanisme cost-sharing, di mana biaya orientasi selama 8 hari dibebankan ke DIPA Kemendagri dan APBD masing-masing daerah. Ini menimbulkan beberapa masalah, diantaranya;

  • Daerah dengan fiskal terbatas harus mengalokasikan anggaran untuk acara seremonial, padahal mereka masih menghadapi tantangan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
  • Anggaran perjalanan dan akomodasi pejabat daerah meningkat, bertentangan dengan kebijakan efisiensi yang justru menuntut penghematan belanja operasional pemerintahan.
  • Kesenjangan antara daerah kaya dan miskin semakin lebar, karena daerah dengan fiskal kuat dapat dengan mudah membiayai kegiatan ini, sementara daerah miskin harus memprioritaskan anggaran mereka untuk hal yang lebih mendesak.

Kontradiksi dengan Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi
Pemerintah telah mendorong reformasi birokrasi dan digitalisasi pemerintahan. Namun, mengapa orientasi kepala daerah masih mengandalkan metode konvensional yang boros anggaran?
Dengan kemajuan teknologi di abad 21 ini, orientasi ini seharusnya bisa dilakukan melalui platform digital dan berbasis studi kasus nyata di daerah masing-masing.

Pemerintah seharusnya belajar dari praktik terbaik di negara lain, di mana pengembangan kapasitas pemimpin daerah dilakukan secara efektif tanpa harus membebani anggaran negara.
Dugaan Konflik Kepentingan dan Transparansi Anggaran

Dalam surat edaran tersebut, disebutkan bahwa pembayaran biaya akomodasi dan konsumsi dilakukan kepada “PT. Lembah Tidar Indonesia”. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan:

  • Bagaimana mekanisme pemilihan perusahaan ini?
  • Apakah ada proses tender yang transparan?
  • Apakah ada audit independen terhadap penggunaan anggaran ini?

Jika transparansi tidak dijaga, kegiatan ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi praktik pemborosan anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan, yang bertentangan dengan agenda reformasi tata kelola pemerintahan (Government).

Fenomena Pasca Kebijakan Penghematan: Ketimpangan yang Makin Nyata
Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan penghematan anggaran, dampak negatif langsung dirasakan oleh masyarakat kelas bawah dan sektor-sektor strategis. Beberapa fenomena yang terjadi pasca kebijakan tersebut antara lain:

  • Pemangkasan subsidi energi dan bantuan sosial, yang berimbas pada meningkatnya biaya hidup rakyat.
  • Pemotongan anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, yang mempersempit akses layanan dasar bagi masyarakat miskin.
  • Penundaan proyek infrastruktur daerah, yang memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Namun, di saat masyarakat harus beradaptasi dengan kebijakan penghematan ini, para kepala daerah justru mendapatkan fasilitas mewah dalam orientasi kepemimpinan.

Ini semakin memperlihatkan ketimpangan yang kian nyata antara elite dan rakyat biasa. Pemerintah Harus Konsisten dengan Efisiensi yang Dikampanyekanika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melakukan efisiensi anggaran, maka:

  • Orientasi kepemimpinan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan metode yang lebih hemat, berbasis digital dan berbasis daerah masing-masing.
  • Biaya akomodasi yang tidak perlu harus dihapuskan, dan anggarannya dialihkan untuk program yang lebih berdampak bagi masyarakat, seperti subsidi UMKM atau pembangunan ekonomi kreatif di daerah.
  • Transparansi dalam penggunaan anggaran harus dijamin, terutama dalam pemilihan pihak ketiga yang mengelola kegiatan ini.
  • Retret kepala daerah seharusnya bukan sekadar ajang rekreasi politik, tetapi menjadi forum nyata untuk menyelesaikan masalah daerah secara konkret.

Tanpa perubahan kebijakan yang lebih konsisten dan transparan, orientasi kepemimpinan ini hanya akan menjadi simbol elitisme yang semakin menjauhkan pemerintah dari realitas rakyatnya.
Tidak ada yang salah dengan pelatihan kepemimpinan, tetapi harus ada kesadaran bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah berasal dari pajak rakyat.

Jika orientasi kepemimpinan tetap berjalan dengan skema mewah seperti ini, pemerintah harus siap menghadapi pertanyaan kritis: bagaimana mereka bisa membenarkan pengeluaran tersebut saat angka kemiskinan masih tinggi yang juga turut merasakan imbas berbagai penyesuaian anggaran.
Sebagai solusi, pemerintah seharusnya mempertimbangkan model pelatihan yang lebih adaptif dan hemat anggaran. Pemanfaatan teknologi digital dan kemitraan dengan akademisi dapat menjadi alternatif yang lebih masuk akal daripada menggelar acara dengan konsep wisata eksklusif.

Di tengah tuntutan efisiensi anggaran, memilih glamping untuk pemimpin bukan hanya keputusan ironis, tetapi juga mencerminkan ketidakpekaan terhadap kondisi rakyat yang masih “camping” di bawah garis kemiskinan.

Seandainya FGD beberapa tahun belakangan ini dilaksanakan sebagaimana ruang diskusi ideal yang berorientasikan pada keadilan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan, budaya, agraria, HAM dan lain lain, yang didalam semua bidang itu hampir kita jarang berjumpa dengan keadilan. Oleh sebab itu mungkin yang membuat presiden mencukupkan FGD dan menciptakan paradoks semacam ini.

Categories
Recent Posts
Tags