Oleh: Fajri Ramadhan Rachmat
(Aktivis Sosial)
Palopo, riuhmedia.com – Jika kita berusaha pada satu hal, maka hasilnya bisa berhasil, bisa juga belum. Cendekiawan menyebutnya sebagai proses, sedangkan ulama menyebutnya ikhtiar. Oh, ternyata sebentar lagi Ramadhan.
Optimisme itu harus! Tidak bisa ditawar. Namun, tetap harus realistis agar kita mampu menghadapi kenyataan. Harus diakui, bangsa ini telah mengalami lonjakan populasi generasi muda. Pertanyaannya adalah, ke mana orientasi kita membangun bangsa ini? Apakah hanya mengandalkan basis pendidikan, meningkatkan teknologi, atau justru terombang-ambing dalam ketidakpastian era multidimensional yang dipenuhi kecerdasan buatan (AI)? Abad ke-21 datang dengan berbagai tantangan modernitas.
Pendidikan berbasis otomasi digital adalah ruang baru sekaligus tantangan. Bagaimana membangun mentalitas dan kecerdasan emosional generasi muda menjadi lebih berharga daripada sekadar penguasaan teknologi.
Krisis identitas yang dialami generasi Z adalah tantangan zaman ini. Mereka hidup di era shifting atau pergeseran yang terjadi setiap milidetik, sebagaimana dikatakan oleh Alvin Toffler. Sementara Yasraf Amir Piliang menyebut fenomena ini sebagai hiperrealitas—realitas yang melampaui kenyataan. Tren TikTok, fenomena viral, dan media sosial kerap menjadikan generasi muda kaya aksi tetapi miskin pengetahuan.
Mampukah kita mencapai Generasi Indonesia Emas 2045—momen ketika seluruh harapan bangsa bertumpu pada generasi muda? Jawabannya terletak pada apa yang kita lakukan hari ini.
Mengacu pada teori Maslow dalam psikologi humanistik, eksistensi individu terwujud melalui proses konstruksi diri yang berkesinambungan. Generasi muda tidak boleh hanya ikut-ikutan zaman. Mereka harus tumbuh dan berkembang sesuai konteks zaman ini dengan membangun mentalitas, moralitas, dan pengetahuan yang kuat. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus menekankan bahwa yang lebih penting daripada AI dan otomasi adalah karakter individu dan moralitas manusia. Pendalaman karakter, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan, membutuhkan komitmen dan konsistensi—nilai-nilai yang tidak bisa ditawar.
Menuju Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mengulang atau merekonstruksi pemikiran bangsa sesuai cita-cita pembangunan, melainkan menjadi buah dari upaya kolektif kita untuk merancang metodologi yang tepat. Semua pihak harus terlibat—pemerintah, pekerja, pemuda, hingga kelompok yang disebut sebagai minority creative dalam sosiologi, yakni penggerak perubahan sosial.
Dalam menyambut Ramadhan 1446 H dan Generasi Indonesia Emas 2045, generasi muda perlu memperkuat mentalitas, membangun moralitas, dan menumbuhkan kecerdasan secara selaras. Cinta harus selalu hadir, dan karakter harus terus diasah.
Cita-cita mewujudkan Indonesia Emas memang berat. Namun, jika tidak dimulai dari sekarang, harapan itu akan sulit terwujud. Kuncinya ada pada pemuda—tepatnya, hari ini.