Jakarta – Riuhmedia.com 2 Februari 2025 Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang memerintahkan pemangkasan anggaran besar-besaran di hampir semua kementerian dan lembaga (K/L). Salah satu yang paling terdampak adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU), yang mengalami pemotongan hingga 80 persen. Langkah ini diklaim sebagai upaya efisiensi belanja negara dengan total pemangkasan mencapai Rp 360 triliun.
Dalam Inpres yang ditandatangani pada Rabu, 22 Januari 2025, disebutkan bahwa Rp 256,1 triliun berasal dari efisiensi belanja K/L, sementara Rp 50,59 triliun berasal dari pengurangan transfer ke daerah. Namun, menariknya, DPR, Kementerian Pertahanan (Kemenhan), dan Polri tidak terkena pemotongan anggaran sama sekali.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menindaklanjuti kebijakan ini dengan menerbitkan Surat Nomor S-37/MK.02/2025, yang dikirimkan kepada seluruh menteri, Kapolri, Jaksa Agung, kepala lembaga pemerintah non-kementerian, serta pimpinan kesekretariatan lembaga negara.
Kebijakan ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama karena anggaran untuk infrastruktur dan pelayanan publik justru dipangkas drastis, sementara DPR, Kemenhan, dan Polri tetap menikmati anggaran utuh tanpa pemotongan sepeser pun.
Banyak yang mempertanyakan mengapa infrastruktur yang menyentuh kebutuhan masyarakat luas justru menjadi korban penghematan, sementara DPR tetap mendapatkan anggaran penuh, meski kinerjanya sering menjadi sorotan publik. Sektor pertahanan dan kepolisian pun tetap aman, meskipun Indonesia tidak sedang dalam kondisi perang atau ancaman militer yang signifikan.
Selain itu, pemangkasan ini juga dinilai berpotensi memperburuk kondisi perekonomian, terutama bagi sektor konstruksi dan pembangunan yang sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah. Berbagai pengamat ekonomi memperingatkan bahwa keputusan ini bisa menyebabkan peningkatan pengangguran di sektor konstruksi serta merusak momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa pemotongan ini bertujuan untuk mengalihkan anggaran ke program makan siang gratis untuk anak sekolah. Namun, banyak pihak meragukan efektivitas program ini, mengingat pemangkasan justru dilakukan pada kementerian yang berperan penting dalam pembangunan dan pelayanan publik.
Dengan kondisi ini, muncul pertanyaan besar: apakah efisiensi ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau ada kepentingan politik di balik keputusan ini?