Jakarta, riuhmedia.com – Belakangan ini, publik dikejutkan oleh temuan grup Facebook fantasi sedarah yang isinya sungguh menjijikkan. Grup ini terang-terangan menjadi tempat bagi para penyimpang seksual untuk berbagi cerita, fantasi, bahkan foto yang melibatkan keluarga kandung sendiri dalam konteks seksual. Fantasi inses yang selama ini dianggap tabu, justru tumbuh dan tersebar di ruang publik digital.
Lebih mengerikan lagi, ada seorang ayah yang membagikan foto anak balitanya sendiri. Ini bukan hanya penyimpangan moral, tetapi juga bentuk nyata dari kekerasan seksual terhadap anak. Banyak warganet bereaksi keras, menyebut grup ini sebagai “najis digital”, bahkan meminta aparat segera turun tangan.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, langsung bersuara, “Saya minta Bareskrim Polri bertindak. Ini tidak bisa dibiarkan, karena sangat meresahkan dan menyimpang.”
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menegaskan bahwa pihaknya akan memproses jika ada pelanggaran hukum yang terjadi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pun turut bergerak. Mereka menghubungi pihak Facebook dan memproses laporan masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Kominfo
, “Ini bukan soal kebebasan berekspresi, ini tindakan kriminal.”
Namun persoalannya tidak berhenti di situ. Fakta bahwa grup semacam ini bisa eksis lama dan memiliki ribuan anggota menunjukkan bahwa algoritma media sosial masih memberikan ruang untuk konten menyimpang. Ini adalah alarm keras bahwa ruang digital kita belum aman, terutama bagi anak-anak.
Ke mana negara selama ini? Mengapa baru bertindak setelah publik gaduh?
Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal nilai. Kita bicara soal anak-anak, tentang bagaimana dunia digital bisa menjadi ruang kejahatan jika tak diawasi. Negara harus hadir bukan hanya setelah viral, tetapi sejak konten menyimpang mulai tumbuh.
Sistem pengawasan yang selama ini dijalankan seolah belum mampu mengantisipasi perkembangan cepat di dunia maya. Bahkan, fenomena ini mengingatkan kita bahwa kejahatan seksual tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi sudah merambah ke ranah virtual yang tanpa batas. Hal ini jelas menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dan regulator digital untuk berinovasi dalam cara pengawasan dan penindakan.
Menunggu kasus ini padam tanpa perbaikan sistem hanya akan menunda lahirnya “grup-grup sesat” berikutnya. Jika negara abai, maka publik akan percaya bahwa ruang digital adalah hutan tanpa hukum.
Sudah saatnya ada regulasi lebih tegas dan kolaborasi aktif antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat agar ruang digital menjadi tempat yang aman bagi semua, terutama anak-anak yang rentan menjadi korban. Jangan sampai ruang maya menjadi sarang fantasi mengerikan yang mengancam masa depan generasi kita.